Aku memang orang berpendidikan Barat, Namun, aku tetap orang Jawa.
Begitu
ungkapan Sultan Hamengku Buwono IX saat dinobatkan sebagai Raja
Mataram menggantikan ayahandanya, Sultan Hamengku Buwono VIII, yang
bertakhta pada 1921-1939. Ungkapan itu dikutip banyak sejarawan,
penulis, ataupun surat kabar, dengan berbagai ulasan dan analisis.
Sampai peringatan satu abad HB IX pada bulan ini, ungkapan itu
kembali dibahas.
Apa yang diungkapkan HB IX itu sebenarnya
lebih tegas dari yang dinasihatkan ayahandanya, HB VIII. Nasihat itu
tidak ditunjukkan kepada Dorodjatun (nama kecil HB IX), tetapi nasihat
orangtua untuk semua anaknya. Sesungguhnya ungkapan itu seperti menjadi
jati diri keluarga Mataram khususnya HB IX dan saudara-saudaranya,
Dalam
kalimat lain, ungkapan Romo Tirun (cucu HB VIII atau putra GBPH
Prabuningrat kakak kandung HB IX), bahwa eyangnya mempunyai visi ke
depan untuk anak-anaknya. Belum banyak orang tahu bahwa yang
disekolahkan ke Belanda bukan hanya HB IX. Empat saudara kandungnya
yang lain, yaitu Pangeran Puruboyo, Pangeran Prabuningrat, Pangeran
Bintoro, dan Pangeran Hertog, juga disekolahkan ke Belanda oleh HB
VIII.
Sekolah di Belanda bukan berarti menjadi antek-antek
Belanda. Sepulang dari Belanda, HB IX dan saudara-saudaranya justru
menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang gigih. Pangeran Prabuningrat dan
Pangeran Puruboyo waktu itu menjadi anggota BPUPKI, badan yang
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Pangeran Bintoro menjadi
duta besar pertama di Kerajaan Thailand.
Demikian pula dengan
saudara yang lain, yaitu Pangeran Prabuningrat sebagai rektor pertama
setelah UII (Universitas Islam Indonesia) pindah ke DI Yogyakarta.
Sebagaimana dicuplik dalam buku Dakwah Dinasti Mataram karangan Heru
Basuki, Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta adalah cikal bakal dari
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Konon perguruan tinggi
Islam Jakarta itu dipindahkan oleh Bung Hatta ke Yogyakarta, karena
situasi Jakarta selama tahun 1946-1948 tidak menentu.
Gebrakan
HB VIII itu, menurut Romo Tirun, merupakan penggemblengan mentalitas
dan moralitas untuk anak bangsa. Sejak umur empat tahun HB IX dan
beberapa saudaranya dititipkan ke orang-orang Belanda, juga sebagai
bentuk kesederhanaan HB VIII dalam mendidik anak-anaknya. Meskipun anak
raja, mereka tidak harus hidup di lingkungan istana, namun bagaimana
harus merasakan hidup dalam ketidakmewahan.
Kerelaan HB VIII
saat anaknya dikeluarkan dari istana dan dititipkan kepada orang
Belanda, juga terselip muatan politis. Dengan cara itu, HB VIII dapat
menyekolahkan anak-anaknya ke Belanda. Sepulang dari sekolah di
Belanda ternyata kelima anak HB VIII itu menjadi anak-anak republik
yang ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
”Anak-anak
keraton” itu memang sudah dipersiapkan untuk menjemput lahirnya negara
Republik Indonesia. Ini tergambar jelas dari kutipan Romo Tirun yang
mengungkapkan nasihat HB VIII kepada anak-anaknya. ”Kamu boleh belajar
budaya Belanda sedalam-dalamnya. Itu bekal hidup di masa depan untuk
mempelajari suatu bangsa. Namun, kamu jangan larut dalam kehidupan
mereka. Bahkan jangan sampai kamu menikah dengan orang Belanda”.
Sejak lama
HB
IX memang sebagai pioner dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang
hadir dari lingkungan keraton. Namun cara memerintah, dia bukan
eksklusif satu-satunya orang keraton. HB IX banyak didukung oleh
saudara-saudara kandungnya, ikut membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Inilah yang kemudian disebut oleh Dr Budi Subanar SJ, Kepala
Pusat Sejarah dan Etika Polltik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
bahwa visi dan misi keraton sangat berarti dalam perjalanan sejarah
bangsa.
Tidak usah membicarakan Sultan Agung yang memerintah
Mataram dari 1613-1645 yang memang telah mampu menciptakan sistem
pemerintahan hebat di zamannya, meskipun dalam tekanan Pemerintah
Belanda. Dalam pemerintahan HB VIII yang tetap dalam cengkeraman
Belanda, keraton tetap bisa memainkan perannya dalam menapaki
realitas sejarah. ”Kalau dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia, HB VIII punya peran membentuk kader bangsa lewat
anak-anaknya. HB VIII itu bapak yang visioner,” kata Budi Subanar.
Sultan
HB IX bukan satu-satunya putra Keraton Ngayogyokartahadiningrat yang
tampil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai pioner dari
keraton didukung oleh adik dan kakaknya. Mereka kompak, dalam saat
kritis, Sultan HB IX dan saudara-suadaranya bahu membahu menentukan
kebijakan sebagai putra Indonesia, bukan sebagai putra keraton.
Ini
jelas terlihat saat Agresi Militer Belanda di Yogyakarta, Saat HB IX
diajak berunding oleh Belanda, dia mewakilkan adiknya, Pangeran Bintoro
–yang kemudian menjadi anggota BPUPKI. Dalam perundingan itu, Keraton
Yogyakarta yang diakui Belanda sebagai sebuah negara, dihadapkan pada
pilihan yang menunjukkan jati diri putra-putra Keraton Yogyakarta.
Dalam
buku Takhta Untuk Rakyat, saat disebutkan perundingan itu, HB IX
selaku Raja Yogyakarta diminta untuk tidak ikut campur masalah Republik
Indonesia dan Belanda (untuk menjadi ibu kota). Sebagai imbalannya,
Belanda memberi kekuasaan atas tanah bekas Keraton Mataram meliputi
Kedu, Solo, Madiun, Kediri, dan Banyumas. Sultan HB IX lewat Pangeran
Bintoro menolak tawaran itu. Dalam perundingan kedua, Belanda menambah
lagi wilayah kekuasaan Keraton Yogyakarta meliputi Jawa tengah, Jawa
Timur, dan Madura. Sultan HB IX tetap menolaknya.
Bisa
dibayangkan andaikan Pangeran Bintoro sebagai juru bicara HB IX dalam
perundingan menyatakan menerima. Indonesia akan menjadi dua negara,
yaitu Keraton Yogyakarta dengan kekuasaan besar di Jawa dan Pemerintah
Republik Indonesia yang kala itu sedang diperjuangkan eksistensinya.
Itulah
wajah Keraton Yogyakarta pada masa perjuangan itu. Istana bukanlah
sarangnya para feodalisme, namun di dalamnya tersimpan sumber daya
manusia yang ikut mendukung berdirinya republik ini.
(dikutip dari : kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar